Title:Tick Tock.
Author:Hanbirochan.
Genre:AU,Thriller,Surrealism,Psychology,a little bit friendship.
Rate:PG15.
Length:Oneshot.
Featuring Lee Jaehwan (Ken) and Lee Hong Bin VIXX.
Author:Hanbirochan.
Genre:AU,Thriller,Surrealism,Psychology,a little bit friendship.
Rate:PG15.
Length:Oneshot.
Featuring Lee Jaehwan (Ken) and Lee Hong Bin VIXX.
“Teruslah
menghitung. Waktu berada dipihakmu. Bukankah ini takdir yang menyenangkan?”
**
**)
Ken menghela nafasnya pelan. Ia mengeratkan mantel
berwarna biru tua yang ia pakai lantas membenarkan syal yang melingkar
dilehernya, sesekali sebuah senyuman lebar disertai bungkukkan tubuh jangkung
milik Ken terlihat saat pintu yang berada disampingnya terbuka. Pria dengan
surai hitam pekat tersebut melirik kearah jam tangan yang melingkar dilengan
kiri nya, sesaat kemudian helaan nafas kembali keluar dari bibirnya.
“Aku belum belajar untuk be –ah selamat datang,
Tuan!” Ken segera membungkukkan badannya pelan, tidak lupa menambahkan seulas
senyuman manis yang selalu ia tampilkan pada semua orang. “Apa ada yang bisa
saya bantu?” Tanya Ken saat pria yang baru saja masuk ke toko tersebut terdiam
sembari menatap Ken dengan tatapan yang tidak dapat diartikan.
“Lee Jaehwan.” Ucap pria itu dengan nada datar. Ken menaikan sebelah halisnya, entah kenapa hawa disekitarnya berubah secara drastis. Sangat dingin –Ken yakin jika ia sudah menyalakan penghangat di toko kecil ini, dan tampaknya itu tidak berpengaruh banyak –atau mungkin tidak berfungsi sama sekali.
“Lee Jaehwan.” Ucap pria itu dengan nada datar. Ken menaikan sebelah halisnya, entah kenapa hawa disekitarnya berubah secara drastis. Sangat dingin –Ken yakin jika ia sudah menyalakan penghangat di toko kecil ini, dan tampaknya itu tidak berpengaruh banyak –atau mungkin tidak berfungsi sama sekali.
“Ya? Darimana Tuan mengetahui nama asli saya? Whoa
apa Tuan seorang peramal? Wah.” Ken berkata dengan cukup antusias –bermaksud
mengusir perasaan tidak enak yang hinggap begitu saja dihatinya. Hawa dingin
semakin menyeruak; membuat pemuda berusia 17 tahun tersebut menggigil pelan.
Pria itu menyeringai kecil, ia mengambil beberapa
lembar uang dari dalam sakunya lantas menyerahkannya pada Ken. “Rokok.” Ujar
pria itu. Ken menghembuskan nafasnya pelan lantas mengangguk, dengan segera ia
mengambil satu bungkus rokok lalu menyerahkannya pada pria dihadapannya.
“Ngomong-ngomong, bagaimana Tuan melakukannya?”
Tanya Ken, demi apapun ia sangat penasaran dengan pria dihadapannya ini. Hei,
mereka bahkan tidak mengenal satu sama lain sebelumnya, dan pria itu mengetahui
nama lengkap Ken –apa ia seterkenal itu sampai-sampai orang asing ini
mengetahui namanya?
“Bukan hal yang penting.” Ujar pria itu, ia
melangkahkan kakinya menuju pintu keluar, namun beberapa saat kemudian
langkahnya terhenti. Pria itu menoleh kearah Ken, sebuah seringai kecil kembali
tergores diwajahnya. “..Selamat bersenang-senang, Nak.”
Dan Ken tidak pernah menyadari apa yang akan terjadi
setelahnya.
**)
Tidak ada yang berbeda pagi ini. Ken –atau Lee
Jaehwan- mengayuh sepeda berwarna hitam kesayangannya dengan tergesa-gesa. Jam
sudah menunjukkan pukul 7.18 pagi dan jarak sekolahnya masih 2 km lagi. Kalau
saja ia tidak ingat jika hari ini ada ulangan fisika –jam pertama pula- mungkin
ia akan memilih untuk tetap tidur dirumah. Lagipula, suhu pagi ini sangat tidak
bersahabat.
Ken menggerutu pelan saat terdapat gerombolan orang
yang menghalangi jalannya, dengan wajah malas ia menuruni sepeda nya lantas
melihat apa yang terjadi hingga orang-orang bergerombol seperti ini.
“Permi –oh! Lee Hongbin!” Ken berteriak cukup keras
saat melihat pemandangan dihadapannya; sesosok tubuh seorang pria –yang ia
yakini sebagai Hongbin, adik kelasnya- tergeletak begitu saja, tubuh Hongbin
berlumuran darah serta keadaan tangan kanannya sudah tidak berada ditempat
asalnya. Sepeda motor milik Hongbin pun berada sekitar 5 meter dari tubuh
Hongbin.
Ken meringis pelan, satu hal yang ia sadari; orang-orang hanya mengelilingi tubuh Hongbin tanpa melakukan apapun. Mereka menatap Hongbin seolah ia adalah seekor binatang, bukan manusia. Ken mengedarkan pandangannya lantas menghampiri tubuh Hongbin yang tampak sangat mengenaskan.
Ken meringis pelan, satu hal yang ia sadari; orang-orang hanya mengelilingi tubuh Hongbin tanpa melakukan apapun. Mereka menatap Hongbin seolah ia adalah seekor binatang, bukan manusia. Ken mengedarkan pandangannya lantas menghampiri tubuh Hongbin yang tampak sangat mengenaskan.
“Lee Hongbin-ya! Hei kalian, cepat panggil
ambulance!” teriak Ken, namun tidak ada satu orangpun yang menghiraukannya. Dan
beberapa saat kemudian orang-orang tersebut membubarkan diri begitu saja.
“Hei! Apa yang kalian lakukan?! Cepat panggil
ambulance! Astaga! Apa yang harus kulakukan?” Ken berteriak histeris, ia
melirik kearah jam tangan yang melingkar dilengan kirinya lantas kembali
meringis. 15 menit lagi gerbang sekolah akan ditutup, dan kini dihadapannya
terdapat seongok daging –maksudnya,
sesosok tubuh manusia yang tergeletak begitu saja dengan kondisi mengenaskan.
Apa yang harus ia lakukan?
Pergilah,
Ken.
“Tidak, aku tidak mungkin meninggalkan Hongbin
disini!”
Akan
ada yang menyelamatkannya, Ken. Jangan menjadi pahlawan kesiangan. Ingat ujian
fisika mu, kau ingin Park songsaengnim menghukummu?
Ken terdiam sejenak. Ia melirik kearah tubuh Hongbin
lantas menundukkan kepalanya, sesaat kemudian ia kembali menaiki sepeda nya.
Ken menatap tubuh Hongbin dengan tatapan menyesal, ia menghembuskan nafasnya pelan lalu kembali mengayuh sepeda nya dengan tergesa-gesa.
Ken menatap tubuh Hongbin dengan tatapan menyesal, ia menghembuskan nafasnya pelan lalu kembali mengayuh sepeda nya dengan tergesa-gesa.
“Maaf.”
**)
Ada yang salah dengan sekolahnya –atau mungkin ada
yang salah dengan Ken. Terakhir kali ia melihat jam tangannya –mungkin 3 menit
yang lalu- waktu sudah menunjukan pukul 7.30 dan kini para murid tampak dengan
santainya berjalan memasuki gerbang. Sekolah juga tampak sepi.
Ada
apa ini?
Ken lantas kembali melirik jam tangannya. Dan
seketika juga matanya melebar dengan sempurna.
6.30
“Bagaimana bisa?!” Ken menggerutu pelan, ia mengacak
rambutnya lantas mengedarkan pandangannya. Benar-benar sepi. “Ah entahlah.” Ken
menghela nafasnya lalu melangkahkan kaki nya sembari mencoba mencerna apa yang
baru saja terjadi.
“Tadi jam nya benar-benar menunjukan pukul 07.30,
sungguh. Aish. Apa jam ku rusak?” Ken bergumam sendiri –tidak mempedulikan
beberapa murid yang memandangnya dengan tatapan aneh sekaligus heran.
Ken menghentikan langkahnya saat berada didepan kelas Hongbin, ia melirik kedalam kelas tersebut lantas menghembuskan nafasnya pelan. Perasaan bersalah mulai menyeruak, dada nya terasa sesak saat mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Lee Hongbin adalah salah satu teman baiknya, ia adik kelas yang ramah, dan Ken akui jika pria yang lebih muda satu tahun darinya tersebut cukup tampan –Ken masih normal, ngomong-ngomong.
Saat itu juga Ken mengutuk dirinya sendiri. Ini masih pagi, ia tidak terlambat, masih ada waktu untuk membawa Hongbin ke rumah sakit dan dengan teganya ia membiarkan tubuh Hongbin tergeletak begitu saja ditengah jalan. Teman macam apa dia?
Ken menghentikan langkahnya saat berada didepan kelas Hongbin, ia melirik kedalam kelas tersebut lantas menghembuskan nafasnya pelan. Perasaan bersalah mulai menyeruak, dada nya terasa sesak saat mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Lee Hongbin adalah salah satu teman baiknya, ia adik kelas yang ramah, dan Ken akui jika pria yang lebih muda satu tahun darinya tersebut cukup tampan –Ken masih normal, ngomong-ngomong.
Saat itu juga Ken mengutuk dirinya sendiri. Ini masih pagi, ia tidak terlambat, masih ada waktu untuk membawa Hongbin ke rumah sakit dan dengan teganya ia membiarkan tubuh Hongbin tergeletak begitu saja ditengah jalan. Teman macam apa dia?
“Sunbae, kenapa?” Suara disertai tepukan tangan
seseorang membangunkan Ken dari lamunannya. Ken menoleh kearah suara tersebut
dan menemukan Jung Eunji –teman sekelas Hongbin- sedang menatapnya dengan
tatapan heran.
“Ah Eunji-ya, tidak apa-apa.” Ken tersenyum kaku
sembari memegang belakang kepalanya. Eunji menaikan sebelah halisnya lantas
menoleh kearah kelasnya. “Sungguh? Sedari tadi sunbae terus memandangi kelas
ku.” Ujar Eunji.
Ken menghembuskan nafasnya pelan lalu mengacak rambutnya gusar. Haruskah ia memberitahu Eunji?
Ken menghembuskan nafasnya pelan lalu mengacak rambutnya gusar. Haruskah ia memberitahu Eunji?
“Itu. Um Lee Hongbin, a-“
“Oh kau mencari Hongbin? Tadi aku melihatnya di
kantin. Oh itu dia!” ” Ucap Eunji cepat. Gadis dengan rambut kecokelatan
tersebut tersenyum kecil lantas melambaikan tangannya.
Ken terdiam beberapa saat, sedetik kemudian ia menoleh ke belakang.
Ken terdiam beberapa saat, sedetik kemudian ia menoleh ke belakang.
Dan saat itu juga waktu serasa terhenti.
Disana, Lee Hongbin sedang berjalan kearahnya dan
Eunji, pria itu tampak tersenyum senang. Tidak ada yang kurang dari Hongbin
–tubuhnya lengkap, tidak ada lebam sedikitpun.
Apa-apaan
ini?!
**)
“Jadi, tadi pagi kau melihatku kecelakaan, hyung?
Pfft.”
Hongbin hampir saja kembali memuntahkan lasagna yang ia makan saat mendengar
cerita Ken. Dengan susah payah pria itu menahan tawanya –ia menghargai Ken,
bagaimanapun, Ken tetaplah kakak kelasnya. Lagipula, raut wajah Ken tampak
sangat serius dan cemas saat menceritakan pengalamannya tadi pagi.
“Jangan tertawa, Lee Hongbin! Aku serius!” Ken
menggerutu pelan. Hongbin tersenyum kecil lantas menganggukan kepalanya tanda
mengerti, sedetik kemudian ia membentuk tanda ok dengan tangan kanannya. “Baiklah, maafkan aku.”
Ken menghela nafasnya pelan. Berkutat dengan 40 soal
fisika selama 2 jam sudah cukup membuat otaknya berasap, ditambah kejadian tadi
pagi yang terus terngiang di kepalanya. Mungkin setelah ini kepala Ken akan
meledak.
“Oh ya, ada yang aneh dengan jam tangan ku.” Ken
menjulurkan lengan kiri nya lantas menunjuk jam tangan berwarna hitam yang
melingkar dengan sempurna disana.
Hongbin memperhatikan jam tersebut dengan wajah serius, sesaat kemudian ia menoleh kearah Ken.
Hongbin memperhatikan jam tersebut dengan wajah serius, sesaat kemudian ia menoleh kearah Ken.
“Jam yang bagus, Hyung. Kau beli dimana?” Tanya
Hongbin sembari memasang wajah polos. Saat itu juga Ken menahan keinginannya
untuk mencekik pria dihadapannya ini.
“Tidak, bukan itu, Hongbin-ya. Saat aku melihatmu
kecelakaan tadi pagi, jam nya menunjukan pukul 07.18 –dan aku berangkat pada
pukul 7 tepat. Tapi saat aku sampai di sekolah, jam nya menunjukan pukul
06.30.” Ujar Ken. Ia menghembuskan nafas lantas mengacak rambutnya cepat.
Hongbin terdiam beberapa saat, otaknya mulai mencoba
untuk mencerna setiap perkataan Ken.
“Hyung, kau sedang mengerjaiku?” Tanya Hongbin pada akhirnya. Ken mendengus pelan lalu mendorong kepala Hongbin dengan cukup keras.
“Hyung, kau sedang mengerjaiku?” Tanya Hongbin pada akhirnya. Ken mendengus pelan lalu mendorong kepala Hongbin dengan cukup keras.
“Demi Tuhan, Lee Hongbin! Apa aku terlihat seperti
sedang mengerjaimu?”
“Kau mengerjaiku setiap waktu, Hyung. Ingat saat kau
berpura-pura terkena serangan jantung dulu? Trik yang sama tidak akan berlaku
lagi, Hyung. Aku sudah tahu bagaimana cara berfikirmu.” Ucap Hongbin, ia
menghembuskan nafasnya lantas beranjak dari duduknya.
“Namun jika semua yang kau katakan benar..” Hongbin
menggantungkan kalimatnya, pria itu membalikan badannya lantas berjalan
menjauhi Ken dengan langkah perlahan.
“….Kau harus ke psikiater. Kurasa kau berhalusinasi.”
Mati
kau, Lee Hongbin.
**)
Ken mengayuh sepeda nya dengan perlahan. Sesekali
pria berambut raven tersebut
menggigil pelan saat hembusan angin musim dingin –yang dengan sangat tidak
bersahabatnya- menerpa kulit nya. Seperti biasa, sepulang sekolah Ken langsung
pergi ke toko tempat nya bekerja part time.
Bagaimanapun, kondisi ekonomi nya tidak memungkinkan Ken untuk dapat bersantai layaknya remaja lain –ia hidup sendirian, kedua orang tua nya sudah meninggal sejak ia berumur 14 tahun. Waktu kita hidup hanya sedikit, akan sangat sayang jika dipakai untuk sesuatu yang tak berguna –setidaknya itulah asumsi yang Ken pegang daridulu, seolah hasil pikirannya tersebut telah menjadi semacam ideology baginya. Apapun itu, bagi Ken, waktu adalah segalanya.
Bagaimanapun, kondisi ekonomi nya tidak memungkinkan Ken untuk dapat bersantai layaknya remaja lain –ia hidup sendirian, kedua orang tua nya sudah meninggal sejak ia berumur 14 tahun. Waktu kita hidup hanya sedikit, akan sangat sayang jika dipakai untuk sesuatu yang tak berguna –setidaknya itulah asumsi yang Ken pegang daridulu, seolah hasil pikirannya tersebut telah menjadi semacam ideology baginya. Apapun itu, bagi Ken, waktu adalah segalanya.
Segalanya.
Ken menghentikan sepeda tua nya tepat didepan toko
tempatnya bekerja. Pria itu menghela nafasnya lantas menyimpan sepeda nya
tersebut, dengan langkah tegas melangkah kearah pintu toko dan langsung
membukanya begitu saja.
Ken tersenyum sekilas kearah Sihyoung –teman sekaligus pekerja part time di toko tersebut, sama sepertinya- ia melambaikan tangannya lalu langsung menghampiri Sihyoung.
Ken tersenyum sekilas kearah Sihyoung –teman sekaligus pekerja part time di toko tersebut, sama sepertinya- ia melambaikan tangannya lalu langsung menghampiri Sihyoung.
“Hello, Sihyoung-ie.
Kau bisa pulang sekarang.” Ujar Ken. Sihyoung mengangguk pelan lantas sedikit
membungkukkan badannya kearah Ken, pria itu berjalan keluar dari toko tanpa
mengatakan sepatah kata pun.
Ken menghela nafasnya lalu mengambil posisi di
belakang kasir, pria itu mengeratkan mantel yang ia pakai lantas mengeluarkan
beberapa komik yang telah ia persiapkan sebelumnya. Sesekali iris kelam milik
Ken memperhatikan gerak-gerik orang yang lewat di depan toko.
Kring
Lonceng berbunyi. Ken menoleh kearah pintu dan
menemukan Hongbin sedang memperhatikan kondisi toko nya. Ken mendesis pelan, ia
masih sedikit kesal atas apa yang Hongbin ucapkan padanya saat di sekolah tadi
–secara tidak langsung, pria itu sudah mengatakan bahwa Ken gila.
“Lee Hongbin-a, jangan diam disitu; kau menghalangi
jalan!” ucap Ken. Hongbin menoleh kearah Ken lantas menaikan sebelah halisnya,
pria itu berjalan menghampiri kasir lalu menatap Ken dengan tatapan yang tidak
dapat diartikan.
“Darimana kau tahu nama ku?” Tanya Hongbin. Ken
membulatkan matanya, namun sedetik kemudian ia mendesis pelan.
“Tentu saja aku tahu, bodoh!”
“Apa begitu caramu memperlakukan seorang pelanggan,
tuan?”
“Apa maksudmu?” Ken mulai geram dengan tingkah
Hongbin, sedangkan Hongbin hanya dapat memasang wajah bingung sekaligus kesal.
“Sudahlah. Aku tidak mau berdebat dengan orang yang
tidak ku kenal. Aku butuh sebuah lampu bohlam.” Ucap Hongbin. Ken mendengus
kesal lantas mengambil sebuah lampu bohlam lalu menyerahkannya pada Hongbin.
Hongbin mengeluarkan beberapa lembar uang lalu
menyerahkannya kearah Ken. “Kau benar-benar tidak mengenalku?” Tanya Ken.
Hongbin menghela nafasnya lalu mengangguk.
“Memangnya, kau siapa?”
“Lee Jaehwan.”
Hongbin mengangguk mengerti lalu dengan langkah
malas berjalan keluar. Suara lonceng yang berbunyi kembali memekakan indera
pendengaran Ken saat Hongbin membuka pintu toko.
Ken menghela nafasnya. Mungkin Lee Hongbin sedang mengerjainya. Mungkin.
Ken menghela nafasnya. Mungkin Lee Hongbin sedang mengerjainya. Mungkin.
Ken memperhatikan Hongbin yang tampak sedang menaiki
motornya, memakai helm nya, lalu menyalakan motornya, dan beberapa saat setelah
Hongbin melajukan motornya, sebuah truk besar menghantam motor Hongbin.
……Eh. Tunggu.
“LEE HONGBIN!”
**)
Esoknya, Ken berjalan menelusuri koridor sekolah
dengan langkah terseok-seok (ia merasa kaki nya terasa sangat ngilu) . Otaknya
masih mencoba mencerna kejadian yang ia lewati tempo hari. Semua yang
berhubungan dengan Lee Hongbin.
Kemarin saat ia hendak menolong Hongbin, tiba-tiba saja sudah ada beberapa orang yang membentuk lingkaran mengelilingi Hongbin. Tolol memang, untuk apa mereka mengerumuni seseorang yang tak berdaya tanpa berniat sedikitpun untuk membantunya? Mereka hanya menatap ngeri sekaligus naas kearah Hongbin –mungkin mereka menyayangkan pria setampan Hongbin tewas mengenaskan seperti itu.
Kemarin saat ia hendak menolong Hongbin, tiba-tiba saja sudah ada beberapa orang yang membentuk lingkaran mengelilingi Hongbin. Tolol memang, untuk apa mereka mengerumuni seseorang yang tak berdaya tanpa berniat sedikitpun untuk membantunya? Mereka hanya menatap ngeri sekaligus naas kearah Hongbin –mungkin mereka menyayangkan pria setampan Hongbin tewas mengenaskan seperti itu.
Satu hal yang Ken sadari; semuanya sama persis
seperti apa yang ia lihat tempo hari. Lee Hongbin, dengan motor kesayangannya
yang terpental jauh, serta kondisi tubuhnya yang sangat mengerikan. Tak lupa
orang-orang tolol yang hanya berdiam diri saja tanpa melakukan apapun.
Semuanya sama persis, seperti dejavu namun Ken yakin jika ia benar-benar mengalami hal yang sama sebelumnya.
Semuanya sama persis, seperti dejavu namun Ken yakin jika ia benar-benar mengalami hal yang sama sebelumnya.
Dan disaat Ken hendak menolong Hongbin, semuanya
mendadak gelap; tubuhnya kaku dan terasa ringan. Tidak ada yang Ken ingat
sampai akhirnya ia menemukan dirinya sendiri tertidur didalam kamarnya.
Ken terus berjalan dengan langkah gontai. Kepalanya
terasa sangat berat, otak berkemampuan minim nya terus berusaha mencoba
mencerna semua yang terjadi. Kemarin pagi, siang, malam, dan hari ini.
“Hyung!”
Tap
tap tap.
“Hyung! Kau tidak apa-apa?”
Ken menghentikan langkahnya, ia memegangi kepalanya
yang terasa akan pecah saat itu juga lantas menoleh kearah sumber suara yang
memanggilnya.
Lagi. Disana, Lee Hongbin sedang berlari sembari
menatapnya dengan tatapan cemas. Tidak ada yang kurang sedikitpun; Hongbin
baik-baik saja.
Lantas, yang dilihat Ken kemarin itu apa?
Lantas, yang dilihat Ken kemarin itu apa?
“Hyung, kau sudah masuk sekolah? Apa kau sudah
baik-baik saja? Bagaimana dengan luka mu itu? Astaga hyung, wajahmu pucat.”
Hongbin kini berdiri dihadapan Ken, wajahnya tampak sangat khawatir sekaligus
kesal melihat kondisi Ken. “Sudah kubilang kau harus beristirahat, hyung.
Ngomong-ngomong, supir truk sialan yang menabrakmu sudah ditangkap. Beruntung
sekali kau hanya cidera dan-“
“Lee Hongbin?” Ken mengerjapkan matanya beberapa
kali, ia memegangi kedua pipi Hongbin lantas mengguncangkan pundak sahabatnya
tersebut. Mata Ken tampak berkaca-kaca, wajahnya terlihat cemas dan bingung.
“Iya ini aku, ada apa? Kau kenapa?”
“K-kau baik-baik saja? Yang aku lihat kemarin..” Ken
menggantungkan kalimatnya, ia menundukkan kepalanya sesaat lantas kembali
menatap Hongbin dengan tatapan takut.
“Aku…kenapa?”
“Aku…kenapa?”
**)
Hongbin menjabarkan semuanya dari awal secara
mendetail. Bagaimana saat Ken dengan cerobohnya menyebrang dan hampir dilindas
truk, pun saat Ken bercerita tentang melihat diri Hongbin yang kecelakaan tempo
hari.
Dengan sangat sabar pria itu menjelaskan semuanya
–meski jujur saja ia merasa sedikit kesal saat Ken dengan tgeasnya mengatakan
bahwa semua yang ia alami adalah kenyataan. Berbanding terbalik dengan apa yang
Hongbin alami –tentu saja, sejak kapan Hongbin kecelakaan? Jika benar, maka ia
tidak akan berada disini sekarang. Satu-satunya orang yang hampir mati karena
tertabrak truk adalah Ken, bukan dirinya.
Ken mendesah pelan. Ia sadar jika Hongbin merasa
kesal dengannya –tampak jelas dari raut wajah Hongbin yang terlihat kelelahan
sekaligus kesal. Peduli setan dengan apa yang Hongbin pikirkan, Ken hanya ingin
mencurahkan apa yang ia alami. Masalah Hongbin percaya atau tidak, itu urusan
belakangan.
“Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, hyung.
Dari kemarin kau seolah berharap bahwa aku kecelakaan –jujur, itu menyebalkan.
Kau sedang mengerjaiku?” Tanya Hongbin dengan nada yang dibuat sebiasa mungkin,
pria dengan rambut hitam pekat tersebut menyesap pelan coffe late nya lantas memejamkan matanya beberapa saat. Sedetik
kemudian ia kembali membuka matanya dan mendapati Ken tengah menatapnya tajam.
“Kau yang sedang mengerjaiku, kan? Demi Tuhan, Lee
Hongbin, semuanya terasa nyata.” Ujar Ken, iris kelam milik Ken tetap menatap
Hongbin dengan intens; mencoba meyakinkan sahabatnya tersebut bahwa semua yang
ia katakan bukan gurauan semata. Semuanya nyata, Ken yakin dan bersumpah akan
hal itu.
“Ada yang salah denganmu, hyung. Apa kau –maaf,
memakai sesuatu?” Tanya Hongbin pelan, raut cemas sekaligus takut terukir
diwajahnya saat dengan sontak Ken membulatkan matanya.
“Apa? Tentu saja tidak!” jawab Ken tegas. Hongbin
menghela nafasnya lantas menoleh sekilas kearah arloji yang melingkar di lengan
kanannya. “Aku harus ke ruang seni, hyung. Kita bicara lagi nanti.” Hongbin
beranjak lalu berlalu meninggalkan Ken begitu saja.
**)
Lihat,
bahkan orang yang kau anggap saudara sendiri tidak mempercayaimu. Lee Jaehwan,
sadarkah kau?
Ken menatap pantulan wajahnya di cermin, ia sedikit
meringis pelan saat sebuah suara –yang ia yakini sama persis dengan suaranya-
terdengar begitu nyaring. Iris kelamnya menelusuri penjuru kamarnya dengan
cepat; mencoba mencari arah datangnya suara tersebut.
Tolol,
kau sedang mencariku? Aku berada dihadapanmu.
Ken terdiam; tubuhnya terasa sedikit bergetar,
disusul dengan rasa sakit yang menjalar dari kepala hingga dada nya. Ken
meringis, ia memegangi dada nya yang terasa sangat sesak lalu menatap pantulan
wajahnya dicermin dengan tatapan takut.
“K-kau siapa? Apa yang kau mau?” Tanya Ken. Ia
terdiam beberapa saat, hingga sedetik kemudian pantulan bayangan dirinya
dicermin berubah drastic –wajah pucat Ken menjadi semakin pucat, serta sebuah
seringaian kecil tergores diwajahnya. Bayangan tersebut memiringkan kepalanya
lantas menunjuk dirinya sendiri.
Aku?
Aku adalah kau, Lee Jaehwan. Kau tahu? Inti dari semua hal yang kau lihat
kemarin adalah kenyataan; Lee Hongbin memang harus mati. Dia ditakdirkan untuk
mati. Jika tidak, kau akan berakhir seperti sekarang.
“M-maksudmu?” Ken memegangi kepalanya yang terasa
semakin pening. Kini ia tampak seperti orang gila yang sedang berbicara dengan
bayangannya sendiri di cermin.
Waktu
berada dipihakmu, tidakkah kau menyadarinya? Biar aku sederhanakan; kau melihat
Hongbin kecelakaan –dia mati. Namun pada kenyataannya kau yang kecelakaan.
Kenapa? Karena Lee Hongbin tidak mati. Dia tidak mati; kau celaka.
Ken terdiam sesaat, ia menelan ludahnya lantas
memegang cermin dihadapannya. Ken mengepalkan tangannya lantas kembali memegang
kepalanya yang terasa semakin sakit, erangan kembali keluar dari bibir Ken saat
ia merasa seperti ada yang mendorong dirinya.
Seperti
yang kubilang tadi. Kau memegang kendali, namun jika kau tidak menuruti apa
yang kau lihat, kau akan celaka. Kau ingin mencobanya?
Ken tetap tidak mengerti. Ia terlalu sibuk menahan
rasa sakitnya hingga tidak sempat berfikir tentang apa yang suara itu katakan.
Hanya satu yang ia tangkap; Hongbin harus mati.
“Bagaimana caranya?”
Bunuh
dia.
“Tidak!”
Kau
ingin celaka?
“Aku tidak mau menjadi seorang pembunuh.”
Kau
bukan seorang pembunuh. Sudah kubilang, waktu berada dipihakmu. Kau membunuh
Hongbin sekarang; waktu akan berputar ke belakang dan ia akan mati tanpa harus
kau bunuh. Namun jika kau membiarkannya hidup; waktu bergulir kedepan dan kau celaka.
“Tidak! Aku pasti berhalusinasi,” Ken bergumam
pelan. Ia kembali menatap pantulan bayangannya dicermin lantas menjambak
rambutnya sendiri dengan cukup keras. “Ya, aku berhalusinasi. Siapapun kau –aku
tidak akan menurutimu!” teriak Ken.
Tolol.
Kau harus menerima ini, jika kau tidak melakukannya; kau akan tahu akibatnya
nanti. Bunuh Lee Hongbin.
“Tidak! Sudah kubilang tidak!” Ken berteriak dengan
nyaring, ia mengepalkan lengannya lantas memukul cermin dihadapannya hingga
retak. Cairan anyir berwarna merah pekat keluar dari telapak tangan Ken, ia
mencoba mengatur nafasnya yang terengah-engah lalu kembali berteriak. Sekali
lagi, ia memukul cermin dihadapannya hingga kini pecahan cermin tersebut
melukai seluruh tangannya.
**)
Lee Jaehwan’s POV.
Aku menelusuri jalanan dengan langkah gontai. Entah
apa yang aku pikirkan sekarang –berjalan ditengah malam dengan kedua tangan
yang penuh dengan darah. Sebuah pisau lipat terselip di balik mantel berwarna
cokelat tua yang kupakai. Sesekali dapat kudengar beberapa orang berteriak
histeris melihat kondisi ku sekarang –tampak sangat menyedihkan, aku sadar itu.
Namun siapa peduli? Aku hanya harus bertemu Lee Hongbin secepatnya.
Nafasku semakin tidak beraturan saat aku berada
didepan rumah Hongbin. Komplek ini sangatlah sepi, dan Hongbin hanya tinggal
sendirian –kedua orang tua nya berada diluar kota untuk beberapa bulan, itu
yang ku tahu.
Aku tersenyum kecil lantas meraih ponsel yang berada di saku mantel ku, aku hendak menelepon Hongbin hingga tiba-tiba saja pintu rumahnya terbuka.
Aku tersenyum kecil lantas meraih ponsel yang berada di saku mantel ku, aku hendak menelepon Hongbin hingga tiba-tiba saja pintu rumahnya terbuka.
“Hyung? Sedang apa kau disini?”
Hongbin menatapku heran, dan sedetik kemudian ia
membulatkan matanya saat menyadari jika kedua lenganku penuh dengan cairan
berwarna merah pekat. Dengan segera ia membuka pintu rumahnya lebar-lebar lalu
menyuruhku untuk masuk dan mengatakan jika ia akan mengobati luka ku.
“Masuklah, hyung. Apa yang terjadi padamu?” Tanya
Hongbin sembari merangkulku. Aku menoleh kearahnya lalu memiringkan kepala ku.
Lee Hongbin, sahabatku, aku sudah menganggapnya seperti adikku sendiri. Aku
menyayangi nya. Sungguh. Maafkan aku.
Hongbin menatapku heran lalu hendak menarikku untuk
masuk, namun aku tetap bergeming sembari terus menatapnya.
Apa yang harus aku lakukan sekarang?
“Hyung kau kenapa? Ayo –he..hei. Untuk apa kau
membawa pisau?” Hongbin tampak heran saat aku mengeluarkan pisau lipat yang
sudah aku sediakan dari rumah. Aku menatapnya datar lalu tanpa aba-aba langsung
menusuk mata kiri nya dengan pisau ku.
“ARGH! HYUNG! K-KAU KENAPA?”
Hongbin berteriak sembari mencoba menyingkirkan
tanganku yang semakin dalam menusuk mata kanannya. Cairan amis berwarna merah
pekat mulai menyeruak keluar dari mata Hongbin, aku tersenyum kecil lalu
mencabut pisau ku dan hendak menusuk mata kirinya. Namun tiba-tiba saja
semuanya menjadi gelap.
**)
2
Minggu kemudian…
“Hei, tidak seburuk itu. Kau terlihat seperti Ciel
Phantomhive. Kau tahu karakter anime itu, kan? Hahahaha.”
Ken tertawa keras saat melihat kondisi Hongbin yang
tampak sangat menyedihkan –mata kanannya ditutupi oleh sebuah penutup mata.
Hongbin mendesah pelan, ia tersenyum kecil kearah Ken lantas duduk dihadapan
pria yang lebih tua darinya tersebut.
“Kau tidak apa-apa, kan?” Tanya Hongbin. Ken
mengangkat bahu nya lalu sedikit menghentakkan kaki nya kesal.
“Aku tidak betah berada disini, Hongbin-ah. Aku
tidak gila.” Rengek Ken.
Hongbin menghembuskan nafasnya pelan. Ia masih
sangat ingat kejadian 2 minggu yang lalu –disaat Ken tiba-tiba saja datang dan
langsung menyerang nya, disaat Ken pingsan, dan disaat dengan tolol nya ia
menghubungi rumah sakit serta polisi dan mengatakan bahwa rumahnya hampir
dirampok dan Ken yang berusaha melindungi nya tiba-tiba saja pingsan. Ia juga
mengatakan bahwa mata kanan nya menjadi seperti sekarang karena di tusuk oleh
perampok tersebut. Pisau nya? Hongbin buang ke tempat sampah.
Hongbin sadar jika dari dulu ada yang berbeda dari
Ken, namun semuanya semakin terlihat jelas belakangan ini. Pria itu sering
melamun dan berteriak secara tiba-tiba di sekolah. Oleh karena itu, Hongbin
memutuskan untuk mengirim Ken ke rumah sakit jiwa. Dan disinilah mereka
sekarang; di sebuah taman yang berada di belakang rumah sakit. Disini tampak
sepi, hanya ada Ken dan Hongbin.
“Aku tahu,” ujar Hongbin, ia kembali menghela
nafasnya lantas menoleh kearah Ken. “Kejadian 2 minggu yang lalu, kau
benar-benar tidak mengingatnya?” Tanya Hongbin.
Ken menggeleng pelan lalu menggaruk belakang kepala
nya yang tidak gatal. “Aku tidak ingat. Yang aku ingat adalah saat aku
terbangun aku sudah berada disini.” Jawab Ken seadanya.
Hongbin tersenyum kecil lantas beranjak dari tempat
duduknya. Ia menyibakkan poni yang menutupi mata kanannya lantas mengeluarkan
sesuatu dari saku nya.
Sebuah pistol.
Ken menaikkan sebelah halisnya heran saat Hongbin mengarahkan
pistol tersebut kearahnya -tidak, Hongbin mengarahkan pistol tersebut kearah
mata kanannya.
“Pernah mendengar istilah ‘mata dibayar oleh mata’,
hyung?”
Hongbin tersenyum kecil saat melihat ekspresi Ken
yang berubah pucat, sesaat kemudian terdengar suara tembakkan berulang-ulang
yang disusul oleh teriakkan nyaring milik Ken.
End.
Epilogue.
Hongbin membuka kedua matanya secara perlahan.
Sedikit meringis pelan saat merasakan rasa sakit yang tiba-tiba saja menyerang
kepala nya. Hongbin memegangi kepala nya lantas mengedarkan pandangannya.
Ia berada di kamarnya.
“A-apaan ini? Tadi itu apa?”
Hongbin beranjak dari tempat tidurnya lantas
memandangi pantulan bayangannya di cermin. Dan seketika juga matanya membulat
sempurna. Ia menyibakkan poni nya lalu memegangi mata kanannya yang tampak
tidak apa-apa. Semuanya normal.
Hello,
Lee Hongbin. Kau senang kembali kerumah?
Dan yang Hongbin lihat sekarang adalah bayangannya
yang sedang menyeringai kearahnya.
**)
Hallo anyone miss me? Ada yang ingat saya? Nggak?
Baiklah /wht.
Anyway maaf kalau tiba-tiba saja saya datang dengan
FF ini dan melupakan summer case yang sudah terbengkalai sejak beberapa bulan
yang lalu. Maaf sekali. FF nya sedang dalam masa pembuatan kok/? Saya sibuk.
Lagipula, saya sedang ini menulis fanfic dengan genre baru. Ini fanfic
surrealism pertama saya! Dan tampaknya tidak berhasil, ya? Hahahaha.
/gelindingan ke dorm VIXX/
Anyway, ada yang ngerti maksud FF ini apa? :3
RCL please o/
Jujur.. aku agak gak mudeng._.
BalasHapusNgeri amat ni cerita :3
BalasHapusTapi waktu awal aku baca , aku ga konek sama sekali -_- pas tengah sama akhir baru dah nyambung
Alur nya ngebingungin >_< tapi cerita nya bagus