Minggu, 07 September 2014

29

Fever. Teen. 1033words. Romance/AU/fluff. B.A.P's fanfiction.

Moon Jongup and Hwang Siyoung (OC).

**

"Jongup-ah?"

"...."

"Jongup?"

"..."

"Hello, Moon Jongup!"

Jongup memang bukan orang yang banyak bicara. Pria pendek itu lebih suka diam dan tidur dikelas daripada mengobrol dengan murid-murid lain. Namun Jongup bukanlah orang yang akan bergeming saat ada orang yang memanggilnya; dia pasti tahu jika itu tidak sopan. Setidaknya dia akan bergumam pelan atau menolehkan kepalanya saat namanya dipanggil.

Namun kali ini berbeda.

Jongup masih setia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, kepalanya ia taruh diatas meja dengan posisi yang aku yakin sangat tidak nyaman. Aku menghembuskan napasku lalu mengguncangkan bahunya pelan.

"Jongup-ah, kita harus ke ruang seni sekarang." ujarku. Jongup masih bergeming. Aku menaikan sebelah halisku lalu dengan paksa mengangkat kepala pria itu.

Wajah Jongup tampak memerah. Cairan berwarna merah kental juga keluar dari hidungnya. Jongup membuka matanya lalu bergumam tidak jelas.

"Siyoung-ah.."

"Astaga! Moon Jongup! Kau kenapa?" dengan refleks aku berlari menuju tempat dudukku, mengambil sapu tangan yang berada didalam tasku lalu kembali menghampiri Jongup. Aku menyeka darahnya yang sudah mengotori tangan dan juga mejanya.
"Jongup-ah, kau tidak apa-apa?" aku menyentuh keningnya, sedetik kemudian aku langsung menyingkirkan tanganku. Panas sekali. Aku menatap wajah Jongup yang penuh dengan keringat sembari menggigit bibirku pelan. Apa yang harus kulakukan? Hanya ada aku dan dia didalam kelas. Murid-murid yang lain sudah pergi ke ruang seni sejak beberapa menit yang lalu, seharusnya aku juga berada disana saat ini, namun guru seni kami menyuruhku untuk kembali ke kelas dan memastikan apakah Jongup bolos atau tidak.

Aku semakin khawatir saat mendengar Jongup bergumam tidak jelas. Dia memegang sapu tanganku lantas menatapku dengan tatapan yang tidak dapat kuartikan.
"Siyoung-ah. Panggilkan Junhong dan minta dia untuk mengantarku ke UKS." pintanya lemah.

"Choi Junhong? Kau gila? Kelasnya berada dilantai satu! Aku yang akan mengantarmu ke UKS." ucapku. Kelas kami berada dilantai 3 dan posisi tangga cukup jauh dari kelas. Jongup bisa pingsan jika aku harus ke kelas Junhong dibawah sana.

Aku menghela napasku pelan lalu merangkul pundak Jongup dengan tangan kiriku. Dengan susah payah aku menarik tubuhnya agar berdiri lalu menyeretnya dengan pelan.

".....kau kuat juga," Jongup tertawa kecil sembari membersihkan sisa darah yang berada di tangan kanannya -membuat posisi kami seperti sedang berpelukan. Aku menoleh kearahnya, wajahku memerah hingga akhirnya dengan refleks mendorong tubuhnya hingga terjungkal.

"A-apa yang kau lakukan?!" tanyaku. Wajahku kian memerah saat melihat Jongup meringis kesakitan. Oh, apa yang aku lakukan?

"A-aduh, maaf.." aku menghampiri Jongup lalu kembali membantunya untuk berdiri. Jongup menatapku kesal lalu mendorong kepalaku pelan.

"Sakit, tahu." Jongup bergumam pelan, suaranya terdengar sangat lemah dan serak. Aku menatapnya khawatir, rasa bersalah kini mengganggu perasaanku. Dengan perlahan aku kembali membantunya untuk berjalan.
"Maafkan aku. Aku tidak sengaja." ujarku. Jongup menaruh kepalanya di pundakku lalu melingkarkan kedua tangannya di leherku.

"Hm," hembusan napas Jongup yang hangat menggelitiki leherku. Wajahku kembali memanas saat tangannya yang penuh darah menyentuh pipiku. "Ini semu gara-gara kau, Siyoung-ie." ujar Jongup pelan.

Aku membuka pintu ruang UKS dan mendapati Mrs.Lee -guru sains sekaligus dokter UKS sekolah kami- sedang membereskan beberapa peralatan. Mrs.Lee menoleh kearah kami berdua lalu menatap Jongup dengan tatapan khawatir.

"Astaga, apa yang terjadi?" Mrs.Lee langsung menghampiri kami lantas membantuku membawa Jongup ke tempat tidur.

"Dia demam dan sempat mimisan. Lihatlah, tangannya penuh darah!" aku mengangkat tangan Jongup yang sudah berbaring di tempat tidur. Mata Jongup terpejam, tapi aku dapat melihat seulas senyum terukir di bibirnya. Dasar bodoh.

"Aku tidak apa-apa, Songsaengnim," ujar Jongup pelan. "biarkan gadis ini merawatku dan aku akan segera sembuh." tambahnya sembari membuka kedua matanya. Dia tersenyum aneh kearahku.

Wajahku memanas seketika. Aku menoleh kearah Mrs.Lee dan melihatnya tersenyum kecil sembari menggelengkan kepalanya pelan.
"Dasar. Baiklah, kompres dan jaga dia. Obatnya ada di sebelah sana," Mrs.Lee menunjuk sebuah kotak kecil yang berada diatas nakas. "saya ada kelas. Jangan lakukan apapun selama saya tidak ada. Apa kalian sudah izin pada guru kalian?"

"Belum. Kami seharusnya berada diruang seni sekarang."

"Baiklah. Siapa nama kalian?"

"Hwang Siyoung, dan pria bodoh ini bernama Moon Jongup." aku menoleh kearah Jongup yang tampak sudah tertidur. Kurasa dia sangat lemah sampai tidak sadar jika dia mimisan tadi.

"Baiklah, saya akan memberitahu guru kalian. Jaga diri kalian." Mrs.Lee pun keluar dari ruang UKS. Aku membungkukkan badanku selama beberapa saat lalu mengedarkan pandanganku; mencoba mencari baskom dan sebuah kain.

"Siyoung-ie.."

"Hm?"

"Ini semua gara-gara kau." Jongup mengulangi ucapannya. Aku menoleh kearahnya lalu menatapnya heran.

"Apa maksudmu?" tanyaku dengan nada tidak suka. Bagaimana mungkin dia menyalahkanku saat dia sakit karena ulahnya sendiri? Kemarin malam dia berkelahi dengan Zico sunbaenim, setelah itu dia kehujanan saat diperjalanan menuju rumahku. Akhirnya dia pingsan dipinggir jalan dan untungnya Junhong menemukannya.

Bagaimana aku bisa tahu? Junhong meneleponku dan memberitahuku semuanya, dia memintaku untuk datang kerumah Jongup dan membantu Junhong merawatnya karena orang tua Jongup tidak ada dirumah. Tapi tadi malam hujannya sangat lebat. Aku punya alasan kuat untuk tidak datang kerumah Jongup. Meski jujur saja, aku merasa khawatir karena Jongup terlalu bodoh untuk dapat menjaga dirinya sendiri. Junhong? Apa yang dapat anak kecil itu lakukan? Dia satu spesies dengan Jongup. Dan kini aku meras bersalah melihat kondisinya yang menyedihkan.

"Kenapa tadi malam kau tidak datang?" tanya Jongup dengan suara parau. Aku menggenggam kain yang sedang kupegang dengan erat lantas menghampirinya.

"Kenapa kau berkelahi? Kenapa kau bersikeras untuk datang kerumahku ditengah hujan lebat? Kenapa kau memaksakan sekolah hari ini? Kenapa kau tidak ke dokter? Kenapa kau tidak pernah mendengarkan perkataanku?! Demi Tuhan, Jongup, aku khawatir padamu. Aku takut sesuatu yang buruk terjadi padamu." teriakku dengan suara serak. Aku menatapnya selama beberapa saat lantas menutup wajahku dengan kedua tanganku.
"Aku takut.."

Aku terisak pelan. Bodoh! Kenapa aku menangis?

"....Siyoung-ie? Maafkan aku."

"....."

"Maafkan aku."

"...."

"Siyoung-ie," aku dapat mendengar gerakan Jongup yang beranjak dari tempat tidurnya, dia memelukku lantas menyandarkan beban tubuhnya padaku hingga badanku hampir terjengkang ke belakang. "Maaf." ujarnya dengan suara pelan. Kedua tangan Jongup kini melingkar di pinggangku dengan lemah. Tubuhnya terasa sangat panas.

Aku balas memeluknya sembari mencoba menyeimbangkan tubuhku agar tidak jatuh. Jongup menaruh kepalanya d pundakku lalu bergumam pelan.

"Istirahatlah lagi. Aku akan mengompresmu." ujarku dengan suara parau. Jongup menggeleng pelan sembari mengeratkan pelukannya.

"Kau berat. Menyingkirlah."

"Tidak mau." Jongup kembali menggelengkan kepalanya.

Aku mendengus kesal lalu dengan perlahan mendorong tubuh Jongup dan membaringkannya di tempat tidur. Jongup merengut kesal. Aku tersenyum kecil.

"Menurutlah, atau aku tidak akan memaafkanmu."


End.

2 komentar:

[!!] Gunakan bahasa yang sopan. Terima kasih.