Selasa, 26 November 2013

Winter #100FFproject #4



Musim dingin tidak pernah sehangat ini, bukan?





**)







Musim dingin sudah tiba. Suhu udara pun mulai tidak bersahabat seperti beberapa minggu yang lalu –dan ah demi apapun, aku benar-benar tidak menyukai nya. Terlalu dingin, dan rasanya ingin sekali tubuh ini terus meringkuk dibalik selimut tebal, meminum secangkir cokelat panas didalam rumah tanpa harus berada diluar rumah seperti sekarang. Kalau bukan karena nya , aku tidak akan pernah sudi berada di tengah taman kota, menunggu di bawah sebuah pohon cemara yang mulai berubah warna menjadi putih karena tertutup oleh salju –ini sudah pukul 8 malam, ngomong-ngomong.


“Sudah lama?”


Suara berat dan menyebalkan itu tidak pernah terdengar begitu melegakan seperti sekarang. Aku menghembuskan nafasku pelan lalu menoleh kearah jam tangan berwarna putih yang melingkar dilengan kiri ku –tanpa berniat menoleh kearah sumber suara tadi, tentu.
“Entahlah. Mungkin jika kau telat 5 menit lagi saja aku sudah menjadi es.” Gumam ku asal. Dan kini terdengar sebuah tawa kecil disertai rangkulan hangat pada pundakku. Hangat sekali.
“Maafkan aku.” Bisiknya pelan, dia menaruh kepalanya di pundakku lalu menghembuskan nafasnya berat disana. Sengaja, eh.
“Geli, Barom-ya.” Gumamku, aku menyingkirkan lengan dan kepala nya dengan risih lalu menatapnya yang tengah memasang ekspresi datar, seperti biasa.
Barom memegang kedua pipi ku lalu menatapku beberapa saat, setelah itu ia melepaskan scarf berwarna cokelat yang ia pakai lalu melingkarkannya di leher ku.
“Kau sangat dingin, eoh. Maafkan aku.” Ujarnya, ia menggosok-gosokkan kedua tangannya lalu memegang kedua pipiku, seulas senyuman kecil terukis diwajahnya. “Hangat?” Tanya nya. Aku menghembuskan nafasku lalu menepis tangannya.
“Kau ingin mengajakku kemana?” tanyaku sembari memasukan kedua tanganku kedalam saku mantel berwarna putih yang kupakai. Terdengar kekehan pelan dari Barom, ia menarik tangan kananku lalu memasukannya kedalam saku mantel nya.
“Kita akan merayakan kelulusanmu, Channie. Gadis kecilku ini sudah dewasa ternyata, kukira kau tidak akan pernah lulus SMA hahaha.” Barom tertawa pelan sembari menarikku, aku menyamakan langkahku dengannya lalu mendengus kecil. “Kau Tuan pedofil menyebalkan, aku heran kenapa orang tua mu menunjukmu untuk memimpin perusahaan Y- hei! Sakit!” aku meringis pelan saat sebuah jitakan yang cukup keras mendarat dikepalaku, kulirik Barom yang tampak memasang wajah kesal.
“Siapa yang kau sebut pedofil, nona kecil? Dasar pendek!”

“Bercerminlah, tuan! Kau yang pendek!”

“Kau menyebalkan.”

“Kau lebih.”

“Kau jelek.”

“Kau juga! Jung Daehyun oppa bahkan lebih tampan darimu! Wek!” aku menarik tangan kananku lalu menjulurkan lidahku kearah Barom, laki-laki yang lebih tua 6 tahun dariku tersebut mendengus pelan lalu mendorong kepalaku. “Ya! Kau berpacaran saja dengannya!” ucapnya. Aku balas mendorong kepalanya lalu menendang lututnya.
“Aku akan menikah dengannya.” Ujarku dengan nada mengejek sembari kembali menjulurkan lidahnya. Barom memasang wajah tidak percaya lalu menunjuk wajahku dengan telunjuk kirinya.
“Memangnya dia mau padamu? Hah? Berhenti bermimpi! Satu-satunya orang yang akan menikah denganmu adalah aku.” Ucap Barom sembari menyentil keningku, ia menghembuskan nafasnya lantas mengacak rambut nya pelan. Aku mendesis pelan lalu meniup beberapa helai rambut yang menutupi mataku. Berdebat dengannya tidak akan membuahkan hasil, membuang waktu.
“Sudahlah, kau ingin mengajakku kemana?” tanyaku sembari melipat kedua tanganku didepan dada. Barom mendengus pelan lalu ikut melipat kedua tangannya. “Tidak jadi, mood ku berantakan gara-gara kau.” Barom menyender pada batang pohon sembari memasang wajah kesal. Che, dia marah? Kekanakan. Aku memutar bola mataku malas lalu meraih handphone yang berada di saku mantel ku.
“Jadi ini hasil penantianku selama hampir 1 jam? Jahat sekali. Aku akan pergi dengan Doyoon.” Aku hendak mengetik nomor Doyoon hingga tiba-tiba saja Barom merampas handphone ku lalu langsung melepaskan baterai nya dan memasukannya kedalam mantel nya. Aku membulatkan kedua mataku lalu hendak memprotes, namun Barom sudah lebih dulu berbicara dengan nada pelan.
“Maaf.” Ujarnya, ia menghembuskan nafasnya lalu langsung meraih tangan kananku lantas menarikku untuk kembali berjalan. “Aku tidak ingin kau menghubungi orang lain malam ini,” Tambah Barom, sebuah helaan nafas keluar dari bibirnya.
“Hanya kau dan aku, ne?”


**)


Seorang Yu Barom memang gila. Dia sering mengataiku psikopat –tapi nyata nya dialah yang sakit jiwa. Sekarang sudah hampir pukul 9 malam dan ia mengajakku memasuki sebuah gedung tua gelap yang yang sangat menyeramkan. Suara deru angin musim dingin yang diikuti suara beberapa hewan malam menyambutku dan Barom saat memasuki gedung ini.
Aku tidak takut dengan setan atau apapun itu, sungguh, aku hanya tidak terlalu suka dengan kegelapan yang kini menemaniku dan Barom.
“Kau gila.” Ujarku saat Barom mempererat genggaman tangannya. Aku tahu kini laki-laki bersurai hitam pekat tersebut sedang memasang sebuah senyuman setan; dia tahu aku tidak suka kegelapan. Dia tahu ini kelemahanku. Menyebalkan.
“Disini tidak terlalu gelap, tenang saja.” Ucap Barom dengan nada santai sembari terus berjalan, aku mempererat genggaman tanganku padanya sembari mengekornya dari belakang. Disini memang tidak terlalu gelap –maksudku, tidak terlalu terang. Bahkan tubuh Barom yang berada dihadapanku saja tampak tidak terlalu jelas.
“Kita akan kelantai atas, hati-hati.” Ujar Barom, ia menoleh kebelakang lalu menuntunku menaiki tangga. Aku menggenggam mantel Barom dengan kedua tanganku saat tangan kanannya mengelus pelan rambutku. “Dasar penakut.” Ucap Barom. Aku tidak menghiraukan ucapannya sembari terus menaiki tangga dengan langkah perlahan.


Tidak lama kemudian aku melihat sebuah cahaya, mungkin sebentar lagi aku dan Barom akan mencapai lantai atas. Sebuah helaan nafas lega keluar dari bibirku saat semakin lama cahaya tersebut semakin jelas. Sudah tidak gelap, dan aku dapat melepaskan tanganku ini dari mantel Barom.
“Hati-hati.” Ujar Barom, aku menganggukan kepalaku lalu melanjutkan langkahku. “Sebenarnya k- whoa!” seketika juga mataku membulat sempurna saat sudah sampai dilantai atas. Beberapa lilin menyambutku saat itu juga (aku tidak tahu kenapa lilin nya masih bisa menyala ditengah salju seperti sekarang, ngomong-ngomong.) dan diujung jajaran lilin yang membentuk sebuah jalan kecil terdapat sebuah meja dengan cake berwarna cokelat besar diatasnya, disamping meja tersebut terdapat meja lain dengan sebuah ‘air mancur’ cokelat. Cokelat! Semuanya cokelat!


“Kau suka?” Tanya Barom, ia menaruh kepalanya di pundakku lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang ku. Hembusan nafasnya terasa sangat hangat, sungguh. Aku mengangguk sembari tersenyum layaknya anak kecil. “Cokelat!” gumamku bersemangat. Barom tertawa pelan lalu mengacak-ngacak rambutku pelan.
“Dasar anak kecil.” Ucap Barom, ia menuntun tanganku menelusuri jajaran lilin-lilin yang berada disekitar kami lantas berhenti begitu saja. Ia membalikan badannya hingga berhadapan denganku lalu mengacak-ngacak rambutku.
“Terima kasih! Kau yang terbaik!” ujarku senang. Barom tertawa kecil lalu mengangguk, sesaat kemudian ia mencium kening ku. “Anything for you, dear.” Ucap Barom.
“Jadi, mari kita habiskan semua cokelat itu.” Tambah Barom. Aku mengangguk senang lalu langsung menarik tangannya.
“Aku yang akan menghabiskannya! AAA COKELAT NAEKKEOYA!”





End.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

[!!] Gunakan bahasa yang sopan. Terima kasih.