Sweetest dreams.
**)
Tidak ada yang sempurna, aku tahu itu. Namun jiwa ini tidak dapat menyangkal jika sosok mu begitu memikat; menjerat dan tidak membiarkan aku keluar. Terlalu sulit.
.....atau mungkin aku yang dengan suka rela membiarkan hati ini terjerat?
Rasanya malas sekali untuk beranjak dari tempat tidur. Bukan karena kewajibanku untuk bersekolah, atau karena tadi malam aku tidur terlalu larut.
Tadi malam, dia kembali datang. Kali ini dia membawa sebuah buku tebal dengan sampul berwarna biru tua. Dia menghampiriku dengan seulas senyuman khas yang selalu ia bawa kemana-mana (aku bersumpah jika itu adalah senyuman terindah yang pernah aku lihat. Sungguh.)
"Aku membawa sesuatu untukmu. Kau mau?" tanya nya, tangan kiri nya terangkat untuk mengelus pelan rambut hitam pekat milikku. Aku tampak berfikir sejenak lalu memandang buku tebal yang ia bawa.
"Itu sebuah buku cerita?" tanyaku. Dia tersenyum lalu menggeleng kecil. "Bukan." jawabnya.
"Buku ini adalah buku yang akan memuat semua cerita kita. Tulislah semuanya disini; agar nanti jika kita mati, kenangan kita akan tetap hidup dalam buku ini."
Ucapannya tersebut mengakhiri pertemuanku dengannya malam tadi. Dan pagi ini, ibu memberikanku sebuah buku tebal berwarna biru tua yang sudah cukup usang. Ibu bilang; aku harus menulis sesuatu dalam buku tersebut.
**)
Kau adalah satu-satunya.
Aku tidak memiliki siapapun; mereka tidak menganggapku ada. Mereka datang dan pergi begitu saja.
Namun kau tetap tinggal bersamaku. Menemaniku.
"Bukankah sudah kubilang jika kau tidak boleh menangis?" Malam ini dia kembali datang. Namun ada yang berbeda kali ini; dia tidak datang bersama senyuman seperti biasa. Wajah tampannya tampak marah, gelisah dan juga khawatir. Dia menakutkan.
Aku menundukan kepalaku, dengan sekuat tenaga aku menahan agar tubuhku ini tidak bergetar.
Bodoh. Bodoh. Bodoh. Kenapa aku menangis?!
"Hei." panggilnya. Suaranya terdengar sangat dingin dan menakutkan. Oh, apa dia marah? Apa setelah ini ia akan meninggalkanku seperti yang lain?
"Lihat aku." ucapnya. Aku mendongakan kepalaku lalu menatap wajahnya yang tampak cemas. Tangan kanannya mengelus pelan rambutku lalu tangan kiri nya menghapus air mata yang sedari tadi terus jatuh begitu saja tanpa aku kehendaki.
"Gadisku tidak boleh menangis." ujarnya, nada suaranya kini terdengar lebih lembut, wajahnya juga tidak menyiratkan kemarahan ataupun kecemasan lagi.
"Mereka hanya orang-orang bodoh yang tidak tahu bagaimana caranya memperlakukan orang lain. Mereka egois, kau tidak pantas bersama mereka." Iris mata biru nya menatapku dalam. Rasanya hangat sekali.
"Bukankah egois adalah sifat dasar semua manusia?"
"Kata siapa?"
"Itu asumsi ku."
"Kau benar. Tapi ada satu hal yang harus kau tahu." Dia menggantungkan kalimatnya lantas menghela nafasnya pelan.
"Mereka tidak pantas berada dipihakmu. Mereka terlalu bodoh. Jangan pernah membuang air mata mu hanya untuk orang-orang seperti mereka. Masih ada aku disini, aku tidak akan meninggalkanmu."
**)
Namanya Mihael. Laki-laki dengan iris biru; berambut pirang terang; kulit putih pucat yang selalu menemaniku setiap malam. Ia nyata. Begiku, ia nyata. Atau mungkin.... Antara ada dan tiada.
"Mihael." panggilku. Dia menoleh kearahku lalu memiringkan kepalanya.
"Ada apa?" tanya nya. Aku menoleh kearahnya lalu mengulurkan tanganku kearahnya.
"Pukul aku." ujarku. Sesaat kemudian dia terdiam.
"Kenapa? Cepat pukul aku!" nada suaraku kini mulai sedikit meninggi. Mihael tetap diam bergeming; menatapku dengan tatapan yang tidak dapat diartikan.
"Cepat, Mihael! Pukul aku! Aku lelah dengan semuanya! Aku hanya ingin kembali, Mihael. Tolong. Aku hanya ingin sadar! Aku ingin membuktikan bahwa kau benar-benar ada disampingku! Aku hanya ingin membuktikan bahwa kau nyata!" suaraku kian serak, cairan bening kini telah membanjiri kedua pipiku. Aku menatap kedua telapak tanganku lalu menutup wajahku. Aku berteriak keras; meneriakan nama Mihael, ibuku, dan juga ayahku.
Tangisanku kian kencang, dan kini sebuah tangan menarikku begitu saja. Mendekapku lalu mengelus pelan rambutku.
"Apa ini sudah membuktikan semuanya?"
**)
Aku sudah menulis semuanya.
Aku menulis tentang Mihael dan diriku sendiri. Bagaimana awal pertemuanku dan dia. Sampai sekarang, ia tetap menemaniku setiap malam. Dan itu membuatku semakin yakin bahwa ia nyata. Bagiku, ia nyata. Selama aku membutuhkannya, ia akan selalu ada.
**
To you, my sweetest dreams.
14 November 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
[!!] Gunakan bahasa yang sopan. Terima kasih.