Is it too hard to realize?
**
Berlari. Menjerit. Terjatuh. Bangkit. Berlari. Kembali
menjerit, lalu terjatuh. Aku menghembuskan napasku bosan melihat adegan yang
sama selama 15 menit terakhir, aroma darah yang berceceran di lantai sebenarnya
sudah cukup membuatku senang –oh, bahkan aku tidak tahu mengapa aku sangat
menyukai cairan merah kental itu. Namun sayangnya, jeritan gadis berambut
pirang yang kini sedang merangkak beberapa meter dariku membuat telingaku
sakit.
"Kak, berhentilah berteriak –kau tahu suaramu sangat
jauh dari kata merdu. Jadi diamlah." Ujarku sembari menghampirinya dengan
langkah perlahan. Kini gadis itu tersudut di pojok ruangan, ia memeluk kedua
lututnya yang tampak penuh dengan luka, bahkan daging berwarna merah segar terlihat
jelas di beberapa bagian. Rambut pirangnya kini berantakan, tubuhnya gemetar.
Aku menyeringai kecil sembari meraih kursi yang berada tepat disamping gadis
itu lalu menarik kursi itu menjauh.
"Aku menulis sebuah lagu, apa kau ingin
mendengarnya?" tanyaku riang. "Belum selesai, sebenarnya. Namun aku
ingin kakakku tersayang ini menjadi orang pertama yang mendengarnya." Aku
tersenyum senang sembari duduk diatas kursi tersebut. Gadis itu, kakakku, tidak
merespon ucapanku. Ia tetap memeluk lututnya dengan tubuh gemetar. Aku
mendengus kesal. Sekarang, dia membuatku menjadi tampak seperti orang jahat.
"Kak, ayolah. Kau marah karena aku
memotongnya?" tanyaku mencoba bersikap semanis mungkin. "Lihat aku, Kak."
Aku beranjak dari kursi ku lantas berjongkok dihadapannya, tangan kananku
memainkan rambut pirangnya. Aku menjambak rambutnya keras hingga kini kepalanya
menjadi tegap. Mata birunya menatapku dalam, bibirnya bergetar, dan pipinya
basah oleh air mata serta keringat yang bercampur menjadi satu. Aku tersenyum
kecil.
"Nah begini lebih baik, aku bersumpah akan memotong
lehermu jika kau kembali menunduk." Ujarku sembari kembali pada kursi ku.
Gadis itu kini menatapku seolah aku adalah seorang iblis yang harus dimusnahkan.
Tatapan yang selama 7 tahun terakhir ini menghiasi hari-hariku. Namun kali ini,
ada yang berbeda dari tatapannya. Aku yakin itu. Entah apa. Namun yang pasti,
aku menyukainya.
"Kau sialan," ujarnya dengan suara parau.
"Kau iblis! Setan! Keparat! Kenapa kau melakukannya?" bahkan kini ia
membentakku. Aku tersenyum kecil lalu memiringkan kepalaku.
"Menurutmu kenapa?" tanyaku. "Mari buat
ini menjadi lebih sederhana, kak. Kita akan memetik hasil dari apa yang kita
tanam, bukan?" Aku menyeringai saat dia meludahiku.
"Hei, kau tidak boleh bersikap seperti itu pada anak
kecil."
"Kau bukan anak kecil! Kau setan!"
"Aku baru berusia 14 tahun, asal kau tahu." Aku
kembali tersenyum kearahnya. "Bukankah aku akan menyanyikan sebuah lagu
untukmu? Ah aku lupa. Dengar baik-baik."
Gadis itu tetap memandangku dengan tatapan tidak suka,
kurasa ia ingin sekali kembali menunduk –andai saja aku tidak mengacungkan
pisau yang aku sembunyikan dibalik kemeja yang kupakai. Aku kembali menyeringai
saat wajahnya menyiratkan ketakutan. Lucu sekali.
Can you see
me there there there?
Don't ever try to hide,. I'm always by your side, all the time.
You just have to wait
Don't ever try to hide,. I'm always by your side, all the time.
You just have to wait
Aku menghentikan nyanyianku lantas memiringkan kepalaku
sembari menatap gadis yang berada dihadapanku kaku. Ia, memalingkan wajahnya.
Aku tersenyum lalu melanjutkan nyanyianku.
No one will
help you because I'm the only one who cares
So come to here here here, why u can't see me?
Is it too hard to realize?
So come to here here here, why u can't see me?
Is it too hard to realize?
You are
blind blind blind
Now let me take your eyes
Now let me take your eyes
Aku kembali berhenti lalu memainkan pisau yang kupegang.
Gadis itu tampak semakin ketakutan. Hening. Hingga akhirnya aku kembali
mengeluarkan suaraku. "Maafkan aku, kak."
Keren rob lanjutkan~ o.O
BalasHapus