Sabtu, 06 Desember 2014

Prolog











Is it too hard to realize?







**



Berlari. Menjerit. Terjatuh. Bangkit. Berlari. Kembali menjerit, lalu terjatuh. Aku menghembuskan napasku bosan melihat adegan yang sama selama 15 menit terakhir, aroma darah yang berceceran di lantai sebenarnya sudah cukup membuatku senang –oh, bahkan aku tidak tahu mengapa aku sangat menyukai cairan merah kental itu. Namun sayangnya, jeritan gadis berambut pirang yang kini sedang merangkak beberapa meter dariku membuat telingaku sakit.


"Kak, berhentilah berteriak –kau tahu suaramu sangat jauh dari kata merdu. Jadi diamlah." Ujarku sembari menghampirinya dengan langkah perlahan. Kini gadis itu tersudut di pojok ruangan, ia memeluk kedua lututnya yang tampak penuh dengan luka, bahkan daging berwarna merah segar terlihat jelas di beberapa bagian. Rambut pirangnya kini berantakan, tubuhnya gemetar. Aku menyeringai kecil sembari meraih kursi yang berada tepat disamping gadis itu lalu menarik kursi itu menjauh.
"Aku menulis sebuah lagu, apa kau ingin mendengarnya?" tanyaku riang. "Belum selesai, sebenarnya. Namun aku ingin kakakku tersayang ini menjadi orang pertama yang mendengarnya." Aku tersenyum senang sembari duduk diatas kursi tersebut. Gadis itu, kakakku, tidak merespon ucapanku. Ia tetap memeluk lututnya dengan tubuh gemetar. Aku mendengus kesal. Sekarang, dia membuatku menjadi tampak seperti orang jahat.


"Kak, ayolah. Kau marah karena aku memotongnya?" tanyaku mencoba bersikap semanis mungkin. "Lihat aku, Kak." Aku beranjak dari kursi ku lantas berjongkok dihadapannya, tangan kananku memainkan rambut pirangnya. Aku menjambak rambutnya keras hingga kini kepalanya menjadi tegap. Mata birunya menatapku dalam, bibirnya bergetar, dan pipinya basah oleh air mata serta keringat yang bercampur menjadi satu. Aku tersenyum kecil.

"Nah begini lebih baik, aku bersumpah akan memotong lehermu jika kau kembali menunduk." Ujarku sembari kembali pada kursi ku. Gadis itu kini menatapku seolah aku adalah seorang iblis yang harus dimusnahkan. Tatapan yang selama 7 tahun terakhir ini menghiasi hari-hariku. Namun kali ini, ada yang berbeda dari tatapannya. Aku yakin itu. Entah apa. Namun yang pasti, aku menyukainya.
"Kau sialan," ujarnya dengan suara parau. "Kau iblis! Setan! Keparat! Kenapa kau melakukannya?" bahkan kini ia membentakku. Aku tersenyum kecil lalu memiringkan kepalaku.
"Menurutmu kenapa?" tanyaku. "Mari buat ini menjadi lebih sederhana, kak. Kita akan memetik hasil dari apa yang kita tanam, bukan?" Aku menyeringai saat dia meludahiku.


"Hei, kau tidak boleh bersikap seperti itu pada anak kecil."


"Kau bukan anak kecil! Kau setan!"


"Aku baru berusia 14 tahun, asal kau tahu." Aku kembali tersenyum kearahnya. "Bukankah aku akan menyanyikan sebuah lagu untukmu? Ah aku lupa. Dengar baik-baik."
Gadis itu tetap memandangku dengan tatapan tidak suka, kurasa ia ingin sekali kembali menunduk –andai saja aku tidak mengacungkan pisau yang aku sembunyikan dibalik kemeja yang kupakai. Aku kembali menyeringai saat wajahnya menyiratkan ketakutan. Lucu sekali.

Can you see me there there there?
Don't ever try to hide,. I'm always by your side, all the time.
You just have to wait

Aku menghentikan nyanyianku lantas memiringkan kepalaku sembari menatap gadis yang berada dihadapanku kaku. Ia, memalingkan wajahnya. Aku tersenyum lalu melanjutkan nyanyianku.

No one will help you because I'm the only one who cares
So come to here here here, why u can't see me?
Is it too hard to realize?
You are blind blind blind
Now let me take your eyes

Aku kembali berhenti lalu memainkan pisau yang kupegang. Gadis itu tampak semakin ketakutan. Hening. Hingga akhirnya aku kembali mengeluarkan suaraku. "Maafkan aku, kak."

1 komentar:

[!!] Gunakan bahasa yang sopan. Terima kasih.