Hansol Vernon Choi and OC.
*
Semuanya terasa begitu menyesakkan.
Pagi ini, hal pertama yang aku dengar bukanlah hal yang biasa ku dengar setiap paginya -meski masih dengan teriakkan nyaring Ibu; tangisan adikku; serta suara ketukan di pintu kamar ku yang sangat memekakan telinga. Pagi ini berbeda.
Ibu tidak berteriak membangunkanku untuk segera bersiap lalu berangkat sekolah, kali ini yang terdengar hanya teriakkan nyaring nya dengan suara serak. Untuk tambahan sebagai pemanis suasana, teriakkan Ayah ku ikut terdengar pagi ini.
Aku tidak bodoh. Tentu saja. Dengan perlahan aku beranjak dari tempat tidur ku, menghampiri cermin lantas memperhatikan penampilanku untuk seperkian detik.
Menyedihkan. Kenapa kau seperti ini? Kau hanya perlu memilih untuk tetap disini, atau pergi bersama Ibu mu.
Aku menghela napas pelan. Melirik sekilas kearah pintu kamar ku lantas meraih ponsel yang berada diatas meja. Butuh beberapa saat bagiku untuk mencari nomor orang yang ingin aku hubungi. Jeda sesaat. Hingga akhirnya ia mengangkat telepon ku.
"Hansol, apa kau bisa menjemputku?"
***
"Sudah berapa lama kau tidak makan?"
Aku menoleh kearah Hansol -seorang pria berambut curly yang secara kebetulan menjadi malaikat ku pagi ini. Hansol tampak membawa sebuah ransel besar, ia menatapku yang sedang memakan bekal makanannya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan.
Kini aku dan Hansol sedang berada di taman kota yang berjarak cukup jauh dari rumah ku. Tadi aku memanggil Hansol dan memintanya menjemputku dengan sepeda nya -kami baru berusia 14 tahun, ngomong-ngomong. Dan disinilah kami sekarang, dua orang bocah menyedihkan yang memutuskan untuk kabur dari rumah.
"Rumah mu tampak kacau," ujar Hansol, ia memegang kedua pipi ku lalu mengangkat wajahku hingga berhadapan dengannya. "Apa sudah seburuk itu?" tanya nya.
"Mungkin. Aku tidak ingin tinggal dengan salah satu diantara mereka. Astaga." Aku menghela napas pelan lalu balik bertanya pada Hansol. "Kau sendiri?"
"Percaya atau tidak, tadi saat kau meneleponku, aku sedang mencari nomor mu di kontak. Kau tahu, kan? Masalah kita serupa." Jawab Hansol sembari melepaskan tangannya dari pipiku, ia mengambil salah satu sandwich yang sengaja dia bawa dari rumah lalu mulai memakannya.
"Masalahmu lebih rumit.."
"Tidak rumit. Jika saja pelacur itu tidak tinggal bersama Ayah ku -oh! Mungkin kau akan bernasib sama denganku jika tinggal bersama Ayah mu!" seru Hansol. Aku mengangkat bahu ku lalu kembali memakan sepotong sandwich yang tersisa.
"Mungkin. Dan jika aku ikut dengan Ibu ku, kita akan berpisah." ujarku. Ya, ini alasan kenapa aku kabur dari rumah. Selama ini aku sangat bergantung pada Hansol, begitupun sebaliknya. Jika salah satu dari kami pergi, bagaimana kedepannya? Apa yang akan terjadi? Aku bahkan tidak yakin dapat bertahan tanpanya.
Memuakkan. Rasanya seperti kau kecanduan sesuatu dan tidak dapat hidup tanpanya. Namun apa boleh buat? 10 tahun bersama Hansol menjadikan hubunganku dengannya sangat dekat. Dia kakakku, adikku, dan sahabatku disaat yang bersamaan.
"Aku akan kerumah Allen, Lizzie. Apa kau akan ikut?" tanya Hansol. "Kita dapat tinggal disana untuk sementara." tambahnya.
"Sementara? Baiklah. Setelah itu? Dimana kita akan tinggal?" tanyaku. Sial, kenapa aku baru sadar akan hal itu sekarang?
"Entahlah. Tapi tidak apa-apa, kan? Aku akan menjagamu. Aku janji."
Hansol mengangkat jari kelingking nya sembari tersenyum kecil. Aku mengaitkan jari kelingking kami lalu ikut tersenyum kearahnya.
Siang itu, kami benar-benar pergi kerumah Allen yang berada di pinggiran kota New York. Sayangnya semua tidak berjalan sesuai rencana. Didepan rumah Allen sudah ada mobil Ibu ku serta Ayah Hansol. Tidak ada yang ingin aku ingat setelahnya.
Mr.Choi menampar lalu menyeret Hansol. Lalu Ibu ku yang mencaci maki sembari menangis.
End.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
[!!] Gunakan bahasa yang sopan. Terima kasih.