Rintik hujan yang turun dengan cepat seolah menghapus setiap jejak yang ia tinggalkan. Langkah perlahan nya terasa sangat berat; seolah ada sesuatu yang menahannya agar tak melanjutkan langkah.
Ia, Moon Jongup, hanya dapat meringis pelan.
Bahkan kini dinginnya guyuran air hujan dan terpaan angin musim dingin yang menghampirinya terasa tak berarti. Semuanya tak dapat ia rasakan lagi. Perasaannya sudah mati; sudah terlalu banyak rasa sakit yang ia rasakan. Apa kini perasaannya masih berarti? Bahkan, jika ia mati pun tak ada yang peduli.
Tidak ada kata yang dapat menggambarkan perasaan Jongup sekarang.
"Jongup-ya."
Jongup menghentikan langkahnya. Dengan ragu ia menolehkan kepalanya, dan saat itu juga tubuhnya terasa kaku seketika.
Disana, seorang gadis sedang tersenyum bodoh kearahnya -tubuh gadis itu basah kuyup dan terlihat menggigil pelan.
Jongup menghembuskan nafasnya pelan saat gadis itu berlari kearahnya dan langsung memeluknya begitu saja.
"Kajima. Jongupie-ya. Kajima." ucap gadis itu cepat, kedua tangannya melingkar di pinggang Jongup; memeluk pria itu dengan erat. Ia hanya tidak ingin Jongup pergi, sederhana, memang. Namun tidak bagi Jongup.
"Nuna." ujar Jongup, ia mengangkat tangan kanannya lantas menyentuh kepala gadis tersebut; mengelusnya pelan lalu balas memeluknya.
"Jangan pergi. Kumohon, apa kau tega meninggalkan kakak mu ini?' tanya gadis itu sembari mempererat pelukannya.
Jongup tersenyum kecil lantas memejamkan matanya. "Ayah dan Ibu ingin aku pergi. Jika itu ingin mereka; aku akan melakukannya." Jongup menghela nafasnya.
"Aku memang tidak berguna. Nuna, jaga Ayah dan Ibu untukku." Jongup melepaskan pelukannya lalu tersenyum kearah kakaknya tersebut. Ia mencintai kakaknya, sungguh. Semuanya terasa sangat sulit bagi Jongup.
"Selamat tinggal."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
[!!] Gunakan bahasa yang sopan. Terima kasih.